Laman Nisa

Kamis, 09 Juni 2011

- Siti Muslimah -

Siti Muslimah

Siti adalah seorang muslimah yang baik. Kerudungnya terjuntai melebihi dadanya, menutupi tubuhnya dengan gamis yang anggun, selalu menundukkan pandangannya apabila berjalan. Setiap malam, Siti selalu bangun dari tidurnya untuk sembahyang lail, setiap Senin-Kamis ia puasa, selepas magrib ia mengaji. Perkataannya lirih, lembut, dan santun. Dia tidak pernah bermake-up berlebihan, tapi batinnya telah memancarkan kecantikan. Dia tidak pernah keluar rumah, kecuali jika ada keperluan penting dan bermanfaat. Di rumah, dia hanya bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil tak jauh dari rumahnya. Meskipun hanya lulusan sekolah menengah pertama, tapi Siti selalu semangat untuk belajar, apalagi belajar agama. Siti paling rajin mengikuti pengajian setiap Ahad malam di masjid bersama ibu-ibu sekampungnya, meskipun dia baru berusia dua puluh tiga tahun.
Dia semakin rajin dan taat beribadah setelah Ramadhan usai. Ia terkenal seorang muslimah yang baik di desanya. Tetangga satu desanya amat segan padanya, sampai-sampai yang usianya lebih tua jauh dari Siti pun segan padanya. Sebagian besar kaum lelaki di desanya pun menghormati Siti. Kecuali Salim dan kawan-kawannya.
Salim adalah seorang pemuda yang terkenal nakal, seronok, dan sangar. Sebenarnya ia pintar, ia pernah merasakan menjadi mahasiswa, tapi hanya bertahan selama setahun, setelah itu dia keluar, entah apa penyebabnya. Kegiatan Salim pagi adalah nongkrong di ujung gang dengan mulut bau alkohol, seputung rokok terselip di sela telunjuk dan jari tengah, dengan kolor selutut dan kaos kutang kumal. Rambutnya yang gondrong berantakan menutupi kupingnya yang ditindik lima.
Apabila matahari naik sedikit, Salim pun beranjak berpindah ke tempat gang yang lebih sempit, yang tidak terlihat dari bibir jalan. Menghabiskan hari siangnya bersama tiga orang sahabatnya, dengan rokok dan kopi ngutang, dan bermain gaple. Berjudi.
Suatu siang, Pirmin, salah satu kawan Salim, tiba-tiba nyeletuk, “Eh, gue bosen, nih, judi pake duit mulu. Bikin taruhan yang lebih menantang, nyok!”
Salim langsung melengok, “Maksud lu?”
“Gini, neh, Lim. Maksud gue, gimana kalau taruhannya diganti sama si Siti,” kata Pirmin menjelaskan. Jontor, kawan Salim satunya yang sedanga menyeruput kopi paitnya, tersedak. Kaget, heran, dan bingung, campur jadi satu menyelimuti Salim, Jontor, dan Kusno. Otak mereka belum bisa memroses perkataan Pirmin. Melihat ketiga kawannya, Pirmin pun menjelaskan lagi, “Gini, sobat-sobat segaple, maksud gue taruhan kita, nih ye, jangan pake duit lagi. Tapi si Siti, anak alim binti mualim ntu tuh! Jadi, siapa yang nanti kalah gaple, tu orang kudu ngedeketin Siti, ngrayu die, en ngajak die tidur..”
“Gila, lu! Bisa digorok massa!” tolak Kusno.
“Ya gak usah cepet-cepet, peyang! Kite buat si Siti nanem sendiri benih-benih cinta. Kata orang, cinta tu buta. Nah, kita buktiin tuh sama Siti, mempan gak, gimana?” terang Pirmin panjang lebar. Ketiga kawannya manggut-manggut tapi masih diam.
“Ini balas dendam lu, kan, Min?” selidik Jontor.
Pirmin Cuma nyengir kuda. Salim manggut-manggut lagi. Dia mengerti, sangat mengerti. Sejak peristiwa dua tahun lalu, bibit benci pada Siti tumbuh di hati Pirmin, semakin lama bibt semakin tumbuh subur, bisa jadi sekarang namanya pohon benci. Hehe.
Dua tahun lalu, saat itu Pirmin belum segila sekarang. dia sudah berteman dengan Salim, Jontor, dan Kusno, tapi dia masih shalat (walau kadang-kadang), dia masih mau ke langgar (walau kadang-kadang), dan dia satu-satunya dari mereka yang tidak minum alkohol.
Suatu saat di malam Jumat, seperti biasa, para pemuda-pemudi ─yang baik-baik─ pergi ke langgar untuk pengajian rutin. Karena Siti ikut, Pirmin memutuskan untuk ikut pula. Pirmin jatuh hati pada Siti. Setelah pengajian itu usai, Pirmin mencegat Siti di depan pagar langgar, ini bukan kali pertama Pirmin mencoba mendekati Siti. Sudah berbagai cara yang dilakukan Pirmin. Awalnya Siti masih bsia bersikap kalem menolak Pirmin, tapi Siti juga manusia yang mempunyai batas kesabaran. Melihat Pirmin, Siti sudah tahu apa yang akan terjadi, maka Siti pun sudah memasang muka kecut.
“Sit, lu mau ga kawin ama gue?” tanya Pirmin.
Dengan suara lembutnya dan menundukkan kepalanya, Siti menjawab, “Bang Pirmin, sejak kecil kita sudah saling kenal, saya sudah mengetahui tabiat Bang Pirmin, begitu pula Bang Pirmin sudah mengetahui sifat Siti. Asal tahu saja, Abang adalah lelaki yang akan Siti terima jika di dunia ini sudah tidak ada lelaki lain kecuali Abang.” Setelah itu, Siti pun meninggalkan Pirmin seorang diri.
Pirmin marah, ia tidak terima dengan jawaban yang diberikan Siti. Saat itu juga, pagar cinta berubah menjadi tembok benci.

“Deal,” kata Salim lantang. Jika kepala mereka setuju, amak yang lain pun tinggal mengekor.

“Hahaha..! Lu kalah, Lim!” jerit Kusno. Salim memang senagja kalah, tepatnya mengalah. Sebenarnya, ia juga penasaran dengan Siti. Ia juga ingin membuktikannya sendiri.

Hari pertama
Salim mulai shalat di langgar, lima kali dalam sehari. Siti melihat perubahan itu namun masih tidak bergeming.
Hari kedua
Salim bergabung dengan pemuda masjid. Ikut kepanitiaan kegiatan dalam rangka menyambut Maulid Nabi, menyumbangkan ide-idenya, dan disambut hangat oleh yang lain, termasuk Siti.
Hari ketiga
Siti dan Salim dijadikan MC dalam acara Peringatan Maulid Nabi. Terbesit sedikit rasa sengan di hati Siti, tapi cepat-cepat ditepisnya rasa itu.
Hari keempat
Salim dan Siti semakin sering terlihat mengobrol di langgar selepas magrib sambil menunggu adzan isya. Apa saja diobrolkan. Siti mulai mengubah 1800 penilaiannya  pada Salim. Siti mulai kagum.
Hari kelima
Siti semakin kagum pada Salim. Hari ini, Salim bercerita kisah Nabi Musa di depan anak-anak di langgar.
Hari keenam
Siti merindukannya. Hari ini Salim tak tampak di langgar. Sakit, kata anak-anak. Siti khawatir tapi tak berani bertanya banyak. Iya, Siti merindukan Salim.
Hari ketujuh
Salim muncul kembali di langgar saat shalat magrib. Siti senang. Entahlah, otaknya mulai dipenuhi dengan bayang-bayang Salim.
Hari kedelapan
Salim mengajak Siti ke Pengajian Akbar di alun-alun kota. Siti senang sekali, ia pun mengiyakan ajakan Salim.
Hari kesembilan
Mereka pergi ke Pengajian Akbar, bersama anak-anak langgar. Berboncengan naik motor. Siti membonceng Lina, Salim membonceng Udin.
Tapi di tengah acara, Salim mengajak Siti keluar. Siti pun menurut saja. Mereka pergi meninggalkan pengajian dengan motor Salim.
Di tengah jalan, hujan turun lebat. Sali memutuskan untuk berhenti. Mereka berteduh di salah satu pondok kayu di pinggir sawah. Sepinya malam dan ramainya tetesan hujan merobohkan iman Siti. Salim menatapnya, Siti jadi canggung. Salim mendekatinya, Siti diam saja. Salim menyentuh wajahnya, Siti diam saja. Mereka saling menghangatkan, dan akhirnya mereka hanyut dalam gelora penuh birahi.

Salim menang. Ya, hanya dalam sembilan hari Salim berhasil melunasi taruhannya. Salim memasang senyum kemenangannya sepanjang hari. Ketiga kawannya ikut senang, terutama Pirmin. Ia puas dendamnya terbalaskan oleh Salim.
Sedangkan di sana, Siti setiap hari hanya mengurung diri di kamar. Menangisi dirinya, menangis sejadi-jadinya. Ia merasa kotor sekali, dan ia merasa hina, tak ada bedanya dengan binatang. Ibu Siti menjadi bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan anaknya, tapi Siti tidak berani cerita pada ibunya. ia rasakan sendiri rasa sesal yang mendalam. Siti depresi. Pada suatu ketika, Siti memutuskan meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan ibunya. akhirnya, dia memilih menjadi kupu-kupu malam di kota. Ditanggalkannya jilbab yag dulu menutupi dadanya, digantinya gamis anggun menjadi busana “tanpa malu”, dipolesnya wajah itu dengan make-up tebal dan menggoda. Siti berubah, dan ini adalah wujud dari kemarahannya pada diri sendiri. Ia pun tak lagi menjadi Siti yang muslimah.

*Cerpen untuk Lomba cerpen Pekan Sastra dan Seni SKI FKIP UNS

2 komentar:

  1. "semakin lama bibt semakin tumbuh subur, bisa jadi sekarang namanya pohon benci. Hehe."

    hehe nya itu diluar conteks, diluar cerpen, jadi aneh imaginasi yg baca..haha

    terus kasihan peran utamanya.. ga jadi muslimah..hehee
    hikmahnya bnyak hikmah yg jelek dari pada hikmah yg baik ditangkapnya. bisa aja hikmahnya bilang jangan terlalu alim, nanti bisa dijadiin barang taruhan.. dll, hikmah baiknya susah didapet.. itu aja critik dan sarannya..
    tapi terserah penulisnya juga sih.. tapi kalo nulis yg nyangkut ma agama harus dipikirin mateng2, coz tanggung jawabnya lebih besar.. :)

    BalasHapus
  2. syukron katsir buat kritikan dan sarannya.. :)

    jujur, ga da niat sedikit pun untuk menyebarluaskan hikmah jelek,, karena awal menulis ini pun daya terilhami dari kisah nyata seorang akhwat, dan sampai saat ini membekas di hati dan ingatan saya. dan itu merupakan hikmah yang sangat positif bagi saya. semoga saya selalu istikomah dan selalu berusaha di jalanNya. dan saya ingin pembaca saya juga merasakan apa yang saya rasakan, karena Subhanallah, hidayah dari Allah datang dari mana saja menurut kehendakNya, akhi,.,

    syukron n afwan.. :)

    BalasHapus